~HAVE A BLESSED & WONDERFUL DAY BLOGGER~

15 Jan 2015

Pemerintah Sepakat Bakal Bikin PP Perketat Peninjauan Kembali



Merdeka.com - Pemerintah menyatakan masih membutuhkan payung hukum buat mengatur pengajuan Peninjauan Kembali. Tetapi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Hamonangan Laoly menyatakan belum bisa menentukan kapan aturan baru itu dibuat. Yasonna menyatakan hal itu saat membacakan pernyataan kesepakatan hasil rembukan dengan Jaksa Agung HM Prasetyo, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Polisi Suhardi Alius, serta Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhi Purdijatno, di Gedung Kemenkum HAM, Jakarta, Jumat (9/1). Dia menyatakan ada tiga inti kesepakatan soal pengetatan PK.Yasonna mengatakan, poin pertama adalah terpidana mati yang permohonan grasinya ditolak bakal tetap dieksekusi sesuai peraturan perundangan berlaku. Dia menyatakan sudah tidak ada ampun lagi bagi para pesakitan itu.
Sedangkan soal polemik pengajuan PK sesuai putusan Mahkamah Konstitusi nomor 34/PUU-XI/2013, Yasonna mendesak supaya hal itu tetap dirinci dalam pelaksanaannya. Sebab jika tidak, maka bisa menimbulkan kerancuan. Putusan MK itu merupakan hasil sidang atas gugatan terpidana kasus pembunuhan sekaligus mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar.
Menurut Yasonna, nantinya akan ada aturan menjelaskan persyaratan bukti baru (novum) serta jangka waktu pengajuan PK pertama dan selanjutnya. "Masih diperlukan peraturan pelaksanaan secepatnya tentang pengajuan permohonan PK. Menyangkut pengertian novum, pembatasan waktu, dan tata cara pengajuan PK," kata Yasonna.
Namun, Yasonna belum bisa memastikan kapan mereka bakal duduk bersama buat mengolah aturan itu. Dia mengatakan, sebelum aturan itu dibuat, maka sampai saat ini masih mengacu kepada peraturan yang lama. "Jadi diskusinya pada pemerintah itu akan mengajukan PP (peraturan pemerintah)," ujar Yasonna.

Pemerintah Juga Masukan Pengetatan PK Di Revisi KUHAP


Merdeka.com - Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) memastikan aturan baru memperketat upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Menurut dia, hal itu nantinya akan dimasukkan ke dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Yasonna mengatakan, saat ini pemerintah sepakat menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) buat menjelaskan soal tata cara PK. Dia menyatakan, sebelum beleid itu diterbitkan, maka payung hukum pelaksanaan PK saat ini masih mengacu kepada Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Mahkamah Agung. Dia memastikan hal itu juga akan masuk dalam revisi KUHAP.   "Iya betul. Jadi nanti kan sudah masuk prolegnas, tapi bukan prioritas 2015. Tapi masih boleh menunggu, tentu kita harus membuat PP dulu supaya tidak ada kesimpangsiuran," kata Yasonna dalam jumpa pers di Gedung Kemenkum HAM, Jakarta, Jumat (9/1).
Yasonna berharap, dengan adanya PP, maka bisa mengakhiri polemik soal PK itu. Dia juga berharap, supaya MA tidak gegabah bertindak sendirian dengan ngotot mempertahankan Surat Edaran dan Peraturan MA soal PK bila PP itu sudah disahkan. "Kita sudah selesaikan dengan pembahasan secara mendalam hari ini. Yang dilihat dari berbagai aspek," ujar Yasonna.
Sebelumnya, pemerintah juga sepakat untuk membuat PP soal payung hukum upaya pengetatan PK yang harus dibatasi. Karena sebelumnya, putusan MK mempersilakan terpidana mengajukan PK berkali-kali tanpa ada batasan. Putusan ini dinilai membuat tidak adanya kepastian hukum.

Menkum HAM Minta MA Cabut Surat Edaran PK Satu Kali



Gedung Mahkamah Agung RI
Merdeka.com -Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Yasonna Laoly menyatakan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pembatasan PK hanya bisa diajukan satu kali tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk menangani perkara. Hal ini karena SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) hanya imbauan yang berlaku bagi internal MA.Yasonna pun menyarankan agar MA mengganti SEMA dengan Peraturan MA (Perma) lantaran bisa berlaku di semua lembaga penegak hukum. Tetapi, menurut dia, MA menyatakan tidak bisa menerbitkan Perma lantaran kewenangannya untuk membatasi PK hanya satu kali sudah diwadahi oleh Undang-undang (UU) MA dan Kekuasaan Kehakiman. "Soal Perma, MA mengatakan lebih bagus janganlah, karena kami (MA) sudah punya peraturan sendiri. Dalam perundang-undangan Kekuasaan Kehakiman, PK itu kan satu kali. Di UU MA juga satu kali," ujar Yasonna di Kemenkum HAM, Jakarta, Jumat (9/1). Padahal, terang Yasonna, terdapat kewajiban bagi MA untuk mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait PK yang bisa diajukan berkali-kali. Untuk itu, dia mengatakan pemerintah akan membuat PP agar pengajuan PK harus memenuhi syarat secara ketat. Pada kesempatan yang sama, Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie membenarkan SEMA tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Sehingga, menurut dia, perlu ada aturan yang bisa dipakai oleh semua lembaga penegak hukum. "SEMA memang bukan peraturan. Hanya petunjuk bagi hakim. Wajar hakim harus memperhatikan itu. Semua penegak hukum harus tunduk pada PP," terang dia. Lebih lanjut, Jimly menerangkan penerbitan SEMA merupakan bentuk pelanggaran MA atas perintah UU dan bukan penentangan terhadap putusan MK. Sehingga, MA sudah seharusnya menjalankan UU meski sudah dibatalkan oleh MK.