~HAVE A BLESSED & WONDERFUL DAY BLOGGER~

31 Agu 2014

APOLOGETIKA

READING REPORT I
(Laporan Bacaan I)
Oleh : Yulmia Makawekes

Nama Buku :

Pudarnya Kebenaran Membela Kekristenan
Terhadap Tantangan Post Modernisme

Pengarang :
Douglas Groothuis

Setelah saya membaca buku Pudarnya Kebenaran Membela Kekristenan Terhadap Tantangan Post Mordernisme, karangan Douglas Groothuis. Saya  menemukan fakta-fakta bahwa Pudarnya Kebenaran Membela  Kekristenan Terhadap Tantangan Post Mordernisme, disebabkan  oleh beberapa faktor.,  antara lain :



1. Visi abad Pencerahan yang mau memakai kekuatan akal manusia di dalam mengejar pengetahuan universal dan penguasaan teknis atas dunia ini telah gagal. Ideologi kemajuan tidak menepati janji-janji manisnya. Modernisme telah dikalahkan postmodernisme, yang menurut Jean-François Lyotard, dicirikan oleh “ketidakpercayaan pada metanarasi,”

2. Situasi  sosial  dari masyarakat  yang hidup di  lingkungan  kosmopolitan yang dipenuhi media menyebabkan  wawasan  dunia  yang  tunggal  tak  dimungkinkan.  Ide  menemukan  kebenaran   objektif di  tengah-tengah  zaman   informasi / Internet   merupakan   ilusi  utopis dan harus ditinggalkan.

3. Keragaman perspektif religius dan filosofis yang tersedia bagi orang banyak pada saat ini membuat ide tentang satu agama atau filsafat yang benar secara mutlak, tak bisa diterima. Ada banyak cara untuk mengetahui dan ada banyak perspektif yang bisa dianut. Maka agama-agama tradisional harus memperlonggar genggaman dogmatis mereka dan memberikan tempat bagi begitu banyak ragam spiritualitas,yang beberapa di antaranya merupakan tiruan dari beberapa tradisi religious.

4. Lingkungan kita yang kosmopolitan  dan pluralistis tidak mengizinkan identitas pribadi yang  tetap atau satu jalan terbaik untuk hidup. Identitas haruslah cair dan fleksibel, agar bisa sesuai dengan ciri-ciri budaya postmodern. Tak ada kebenaran final tentang bagaimana manusia seharusnya menjadi, kita hanya  perlu bereksperimen, beradaptasi, dan menyesuaikan diri.

5. Bahasa merupakan ciptaan manusia yang kontingen. Bahasa tidak bisa merepresentasikan satu pun realitas yang diketahui secara objektif. Penanda ( signifier) tak bisa berhubungan dengan realitas yang ditandakan (signified). Selain itu, bahasa menciptakan perasaan kita akan realitas; bahasa tidak bisa mendeskripsikan realitas yang terpisah dari bahasa itu sendiri. Apakah kebenaran merupakan sepasukan metafora, metonim, dan antropomorfisme, pendek kata, keseluruhan hubungan manusia yang telah ditingkatkan mutunya, diubahkan, dan diperindah secara puitis dan retoris, dan yang setelah dipakai untuk waktu yang lama, menjadi kuat, kanonis, dan wajib bagi satu masyarakat: kebenaran merupakan ilusi di mana orang telah lupa bahwa ia sebenarnya hanya ilusi; yaitu metafora yang telah usang dan tanpa kekuatan daya tarik; koin yang telah kehilangan gambar cetakan-nya dan sekarang tampak seperti kepingan logam, bukan koin lagi.

6.  Teks-teks yang tertulis tidak memiliki sebuah makna atau nilai kebenaran tertentu, unggal, dan yang bisa diketahui. Dokumen buatan manusia menolak interpretasi definitif dan harus dibebaskan dari penjara objektivitas. Sebagai dekonstruksionis pertama, Jacques Derrida tersohor dengan Makna yang dimaksudkan penulis tidak dapat membatasi makna dari teks tertentu. Makna yang ada sama banyaknya dengan jumlah pembacanya, dan tak seorang pembaca pun yang interpretasinya dapat lebih dibenarkan dibandingkan dengan pembaca lain.

7. Kebenaran bukan dihasilkan dari bukti yang bisa diuji kebenarannya atau logika yang benar, melainkan dihasilkan dari hubungan-hubungan  kekuasaan yang berkedok netral dalam memaksakan keteraturan. Netralitas dan objektivitas  merupakan hal yang mustahil dalam sains, politik, atau upaya-upaya lainnya. Semua  klaim  pengetahuan  menudungi sistem yang sangat halus dari hubungan-hubungan kekuasaan dan  transaksi-transaksi yang ada di mana-mana.