~HAVE A BLESSED & WONDERFUL DAY BLOGGER~

28 Des 2016

Putusan Sela Kasus Basuki Tjahaya Purnama Keliru Dan Tidak Mencerminkan Rasa Keadilan

Alasan Majelis Hakim Menolak Eksepsi Basuki Tjahaya Purnama sangat tidak masuk akal, keliru, dan tidak mencerminkan rasa keadilan.
"Menurut Majelis Hakim, eksepsi yang dibacakan Ahok telah memasuki materi dakwaan. Hakim mengingatkan bahwa lingkup eksepsi hanya sebatas hal formal dalam dakwaan serta kewenangan mengadili yang dapat membuat dakwaan tidak dapat diterima atau dakwaan batal demi hukum. Majelis juga menegaskan bahwa persidangan ini telah dilakukan atas dasar prosedur hukum yaitu pelimpahan perkara yang telah lengkap dari penuntut umum untuk diadili, bukan atas dasar tekanan massa".
Ada tiga alasan Para Pencari keadilan dalam mengajukan Eksepsi atau Nota Keberatan terhadap Dakwaan JPU.
Pengadilan tidak berwenang mengadili (Kompetensi Absolute dan Kompetensi Relative)
Dakwaan tidak dapat diterima karena kabur (Obscuur Libel) atau Dakwaan Prematur
Dakwaan keliru atau kadaluarsa (Nebis in Idem)
Dari ketiga alasan Eksespsi tersebut diatas Majelis Hakim tidak mempertimbangkan angka 2(dua) Dakwaan tidak dapat diterima karena kabur (Obscuur Libel) atau Dakwaan Prematur karena Dakwaan JPU terhadap Basuki Tjahaya Purnama dinilai Dakwaan tidak jelas, kabur (Obscuur Libel) bahkan dakwaan prematur.
Tim PH Basuki Tjahaya Purnama begitu detail dan jelas menjelaskan dalam Eksespi bahwa Dakwaan JPU Tersebut Kabur (Obscur Libel) dan juga prematur karena telah mengabaikan asas hukum Lex Spesialis Derogat Lex Generalis, dan Eksepsi Basuki Tjahaya Purnama sama sekali tidak menyentuh atau membahas tentang materi perkara atau pokok perkara.
Dalam Eksepsi Basuki Tjahaya Purnama melalui Tim PH jelas keberatan terhadap konstruksi hukum yang dibuat atau diterapkan JPU guna menjerat Terdakwa Basuki Tjahaya Purnama. JPU telah mengabaikan asas hukum Lex Spesialis Derogat Lex Generalis, yang mana aturan umum harus dikesampingkan apabila ada aturan khusus yang mengatur/menjerat suatu tindak pidana. Tetapi hal tersebut sama sekali tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim.
Orang awam saja mengerti bahwa pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam Putusan Sela kasus Basuki Tjahaya Purnama benar2 keliru, sangat subjektif dan tidak mencerminkan rasa keadilan.
Majelis Hakim berpendapat bahwa konstruksi hukum Pasal 156a KUHP yang dibuat JPU sudah benar yaitu sebagai delik formil. Pasal 156a KUHP huruf a dan b menyebutkan: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; (b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Majelis Hakim membenarkan Argumentasi JPU bahwa Pasal 156 a huruf a dan Pasal 156 a huruf b berdiri sendiri-sendiri yang dapat dijadikan terpisah sesuai perbuatan yang dilanggar. 
Padahal rumusan huruf (a) dan (b) adalah satu kesatuan tidak terpisahkan sebagai delik materil yang berlaku doktrin bahwa tindak pidana hanya akan terjadi dengan adanya akibat dari perbuatan itu, dalam hal ini orang menjadi tidak beragama.

Majelis Hakim aneh bin ajaib ! Masakan rumusan suatu pasal tidak saling berkaitan satu dengan lainnya? Bukankah setiap perbuatan pasti ada akibatnya? (Hukum Sebab Akibat), Kalau JPU tidak bisa menjelaskan akibat apa yang ditimbulkan dari perbuatan Basuki Tjahaya Purnama atau siapa yang menjadi korban atau dirugikan atas perbuatan Basuki Tjahaya Purnama mengapa hal tersebut tidak menjadi pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Sela? Sebalikanya dengan alasan yang tidak sesuai dengan logika hukum memaksa melanjutkan persidangan Basuki Tjahaya Purnama ke Pokok Perkara (Persidangan dilanjutkan).
Majelis Hakim membenarkan Argumentasi JPU yang mana tidak menjelaskan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan Basuki Tjahaya Purnama, Majelis Hakim berpendapat Dakwaan JPU menggunakan Delik formil dimana cukup menjelaskan perbuatan yang dilanggar tanpa perlu menjelaskan akibat dari perbuatan Basuki Tjahaya Purnama,.
Majelis Hakim kurang memahami istilah yang dimaksud oleh PH Basuki Tjahaya Purnama. Dalam Bahasa Indonesia kata subjek bermakna pelaku, adapun korban adalah makna dari kata objek. Hakim juga menganggap bahwa argumentasi ini sudah memasuki pokok perkara sehingga akan diperiksa nanti bersama dengan pemeriksaan pokok perkara.

Padahal secara nyata JPU hanya sanggup menjelaskan perbuatan Basuki Tjahaya Purnama tanpa menjelaskan Akibat atau siapa yang menjadi korban dari perbuatan tersebut. Hal tersebut dipertanyakan atau menjadi bagian dari eksepsi PH Basuki Tjahaya Purnama dan secara terang dan nyata belum bisa dinyatakan sebagai materi perkara, jadi masih berada diwilayah Eksepsi. karena Dakwan yang kurang lengkap dan kurang jelas dapat disebut sebagai dakwaan yang kabur (Obscuur libel).
Basuki Tjahaya Purnama sudah meminta maaf kepada publik dan terlebih kepada para ulama dan umat muslim di Indonesia, tetapi hal tersebut tidak diperhitungkan Majelis Hakim dalam mengambil keputusan Sela.

Apabila attitude setiap penegak hukum seperti ini lebih mengutamakan delik formil dari pada delik materil, maka seharusnya jika ada oknum pelaku kejahatan khususnya intolerir atau melanggar toleransi beragama yang mana perbuatan tersebut jelas menimbulkan korban atau kerugian bagi pihak tertentu, misalnya perbuatan menghentikan aktivitas ibadah atau bahkan pembakaran rumah ibadah, seharusnya perbuatan tersebut harus dihukum dengan hukuman maksimal atau seberat-beratnya, mengingat ada korban yang ditimbulkan, ada orang atau masyarakat yang turut menjadi korban akibat perbuatan tersebut. Perbuatan tersebut Tidak cukup dengan kata maaf atau permohonan maaf terus dianggap masalah selesai.
Mengapa Basuki Tjahaya Purnama yang notabene sudah meminta maaf tapi tidak dapat mengubah panggilan hati nurani Majelis Hakim, untuk menerima Eksepsi tim PH BasukiTjahaya Purnama? Giliran perbuatan sekelompok orang perusuh yang mana secara terang dan nyata telah menimbulkan korban dan kerugian bagi sekelompok masyarakat bahkan meresahkan bahkan mengganggu stabilitas keamanan bangsa dan negara apakah cukup selesai dengan kata maaf?
Hukum apabila dicampur-adukan dengan Politik maka hasilnya adalah peneyelewengan hukum yang hanya berujung kepada keterpurukan bangsa dan negara kita sendiri. #BravoLemsiham#