~HAVE A BLESSED & WONDERFUL DAY BLOGGER~

25 Mei 2015

Orang Miskin Tidak Bisa Membeli Hukum Di Indonesia

Mengulas kembali kasus Terpidana Mati Kasus Narkoba di negeri ini. Berikut 2 (dua) terpidana mati kasus narkoba yang permohonan Peninjauan Kembali-nya dikabulkan oleh Majelis Hakim Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI, sehingga hukuman mereka dirubah oleh Majelis Hakim Peninjauan Kembali (PK) dari hukuman mati menjadi Pidana Penjara. Dan juga 2 (dua) orang Terpidana Mati Kasus Narkoba yang Permohonan Peninjauan Kembali (PK) ditolak oleh Majelis PK Mahkamah Agung RI. 

A.     HILLARY K CHIMEZIE.  Pemilik 5,8 kilogram heroin

Terpidanan Mati Hillary K Chimezie  warga  negara Nigeria pemilik 5,8 kilogram heroin,  telah diubah hukumannya dari Hukuman Mati menjad 12 (dua belas) tahun penjara oleh Majelis Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI melalui Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 45 PK/Pid.Sus/2009  pada hari Rabu tanggal 06 Oktober 2010.,

Majelis Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI  membatalkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor: 643 K/Pid.Sus /2009, dan  membebaskan warga Nigeria Hillary K Chimezie dari  Hukuman Mati dan mengubahnya menjadi hukuman pidana 12 (dua belas) tahun penjara.

Dalam salah satu pertimbangannya di halaman 105 Majelis Peninjauan Kembali memberikan pertimbangan sebagai berikut :  "Bahwa terlepas dari semua uraian-uraian tersebut di atas, mengenai amar putusan Judex Juris terhadap Terdakwa (Pemohon Peninjauan Kembali) dengan (berupa) hukuman mati , majelis akan memberikan pertimbangan sebagai berikut" :

"Bahwa hukuman mati sangat bertentangan dengan ketentuan dalam pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 (Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya) selain itu bertentangan pula dengan Pasal 1 ayat (1) jo . Pasal 4 Undang-Undang No.39/1999  tentang Hak Azasi Manusia,  10 Declaration of Human Right article 3: "Everyone Has The Right Of Life, Liberty And Security Of Person", artinya : "Setiap Orang Berhak Atas Kehidupan, Kebebasan Dan Keselamatan Sebagai Individu",

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas Majelis Peninjauan Kembali berpendapat bahwa telah cukup alasan untuk mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali : HILLARY K. CHIMEZIE tersebut dan putusan Judex Juris / Mahkamah Agung  (Nomor: 643 K/Pid.Sus /2009)  tidak dapat dipertahankan lagi sehingga harus dibatalkan, dan Majelis Peninjauan Kembali akan mengadili kembali perkara ini dengan amar sebagaimana tersebut di bawah ini,…dst
Terhitung kurang lebih 3 (tiga) bulan kemudian  setelah Putusan terhadap Hillary K Chimezie dari  Hukuman Mati dan mengubahnya menjadi hukuman pidana 12 (dua belas) tahun penjara, Majelis Peninjauan Kembali menolak Permohonan Peninjauan Kembali  Terpidana Mati : AGUS HADI Als OKI dan  PUJO LESTARI BIN KATENO., dengan putusan nomor : 103 PK/Pid.Sus/2010. tanggal 13 Januari 2011,  kedua terpidana mati kasus narkoba tersebut saat ini di tahan di Lapas Barelang Batam.., 


B.     HANKY GUNAWAN. Pemilik Pabrik Ekstasi di Surabaya


Bahwa selanjutnya dalam waktu kurang lebih  7 (tujuh) bulan setelah  Majelis Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI  menolak  Permohonan Peninjauan Kembali Terpidana Mati : AGUS HADI Als OKI dan PUJO LESTARI BIN KATENO., maka pada tanggal 16 Agustus 2011  Majelis Peninjauan Kembali  membebaskan pemilik Pabrik Ekstasi  di Surabaya  Hanky Gunawan dari Hukuman Mati diubah Menjadi Hukuman Penjara 15 (Lima Belas) tahun melalui  Putusan Mahkamah Agung  RI Nomor : 39 PK/Pid.Sus/2011 pada hari Selasa, tanggal 16 Agustus 2011.,

Didalam pertimbangannya yang cukup singkat Majelis Peninjauan Kembali pada intinya menyatakan bahwa pidana mati melanggar konstitusi, khususnya pasal 28 ayat (1) yang mengatur tentang hak hidup, dimana menurut Majelis Peninjauan Kembali hak hidup tersebut merupakan Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi (Non Derogable Right), tidak terkecuali oleh Putusan Hakim/Pengadilan.  Atas dasar ini lah Majelis Peninjauan Kembali Mahkamah Agung  dalam Putusan Peninjauan Kembali-nya menyatakan Majelis Kasasi Mahkamah Agung telah melakukan Kekhilafan Atau Kekeliruan Yang  Nyata;  karena menurut Pertimbangan Hukum Majelis Peninjauan Kembali Hukuman Mati bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945, dan juga melanggar Pasal 4 UU No 39/1999 tentang HAM.

Keputusan Majelis Peninjauan Kembali pada akhirnya membatalkan Putusan Kasasi, Majelis Kasasi  No.455 K/Pid.Sus/2007  tanggal 28 November 2007  dan  membebaskan Pemilik Pabrik Ekstasi, Hanky Gunawan dari hukuman mati dan  mengubahnya menjadi hukuman penjara 15 (Lima belas) tahun.

Apabila didalam kasus Hillary K Chimezie, pemilik 5,8 kilogram heroin, Seorang Gembong Narkoba Berkelas Internasional, dan juga didalam Kasus Hanky Gunawan Pemilik Pabrik Ekstasi di Surabaya, Majelis Peninjauan Kembali lebih mengedepankan aspek Hak Asasi Manusia sebagaimana petikan Pertimbangan Hukum Majelis Peninjauan Kembali yang telah kami sampaikan diatas, maka  Pertimbangan Hukum yang sama seharusnya dapat digunakan oleh Majelis Peninjauan Kembali  dalam memeriksa/meninjau kembali dan mengadili kembali perkara  Terpidana Mati  AGUS HADI Als OKI   dan PUJO LESTARI BIN KATENO, tersebut.,


Hillary K Chimezie, pemilik 5,8 kilogram heroin, seorang gembong narkoba berkelas Internasional bisa diubah hukumannya dari Hukuman Mati menjadi pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun oleh Majelis Peninjauan Kembali, dan Hanky Gunawan seorang Pemilik Pabrik Ekstasi di Surabaya, bisa dibebaskan dari Hukuman  Mati diubah menjadi Hukuman Penjara selama 15 (Lima belas ) tahun, amatlah terlebih kedua Terpidana Mati yang saatini ditahan di Lapas Barelang Batam, dimana kedua terpidana mati tersebut hanya seorang kurir, kaum minoritas, yang hanya menerima upah dengan kisaran pembayaran Rp.2.000.000,- (Dua juta rupiah) hingga Rp.Rp.5.000.000,-(Lima juta rupiah).

Didalam Kasus Hillary K Chimezie  dan Hanky Gunawan, Majelis Penijauan Kembali telah membatalkan Putusan Majelis Kasasi Mahkamah Agung sendiri, dan membebaskan Hillary K Chimezie dari hukuman mati dan mengubahnya menjadi pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun, (Putusan  Mahkamah Agung RI Nomor : 45 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 06 Oktober 2010).  
Serta membebaskan Hanky Gunawan  dari hukuman mati dan mengubahnya menjadi pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun, (Putusan  Mahkamah Agung RI Nomor : 39 PK/Pid.Sus/2011 tanggal 16 Agustus 2011)

Dari fakta hukum tersebut diatas penulis berpendapat bahwa hukum dan keadilan tidak akan ditemukan dinegeri ini bagi orang kecil, kaum minoritas yang tak sanggup membeli hukum di negeri ini.  Peninjauan Kembali (PK) yang telah kami ajukan atas nama kedua terpidana mati tersebut diatas pada tanggal 15 Desember 2014, bukan tanpa disertai bukti baru (Novum), akan tetapi dengan jelas ada keadaan baru yang bisa dijadikan sebagai bukti baru (Novum) dalam bentuk  Surat Pernyataan yang ditulis sendiri oleh SURYANTO Als ATIONG sebagai orang yang telah menyuruh kedua Terpidana Mati tersebut untuk menjemput barang yang sama sekali tidak diketahui oleh kedua terpidana mati tersebut., dimana dengan adanya Novum tersebut kemungkinan besar dapat menolong membebaskan kedua Terpidana Mati tersebut dari hukuman mati, dan sangat berharap Majelis Hakim PK dapat mengubah hukuman kedua terpidana mati tersebut menjadi hukuman pidan penjara.
Selain hal tersebut diatas bahwa Memori Peninjauan Kembali (PK) yang telah kami ajukan secara hukum telah mempunyai dasar hukum yang kuat. 
 
Dasar Hukum Permohonan Peninjauan Kembali :

A.    Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 263 KUHAP berbunyi sebagai berikut :

1)      Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

2)      Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar :

a.       Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;

b.      Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;

c.       Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata;

B.     Bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi  34/PUU-XI/2013  tanggal 06 Maret 2014, dengan amar Putusan berbunyi  :

           1.      Mengabulkan permohonan para Pemohon   :

1.1.   Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor  8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

1.2.   Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor  8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

             2.      Memerintahkan  pemuatan  putusan  ini  dalam  Berita  Negara  Republik  Indonesia sebagamana mestinya;

Akan tetapi kenyataan yang terjadi bahwa PK (Peninjauan Kembali) yang diajukan oleh kedua terpidana mati tersebut melalui kami selaku para Penasihat Hukum mereka, ditolak oleh Majelis Hakim  Peninjauan Kembali (PK) dengan alasan tidak memenuhi standar SEMA No 07 Tahun 2014.  Dimana setelah dipelajari sema tersebut dibuat secara mendadak oleh Mahkamah Agung RI, demi menolak semua PK yang diajukan oleh para Pengacara Terpidana Mati Narkoba diseluruh Indonesia., termasuk juga penolakan terhadap PK Terpidana Mati Bali Nine’s melalui Penasihat HukumnyaTodung Mulya Lubis, dan beberapa PK lainnya.  Pada akhirnya Menkumham mendesak Mahkamah Agung RI untuk segera mencabut SEMA No 07 Thn 2014, akan tetapi sampai saat ini, kepastian dan atau legitimasi hukum SEMA tersebut tidak jelas, dan MA RI  masih tetap bersikeras untuk menjalankan SEMA No 07 tersebut.  Perlu dicatat bahwa kedudukan SEMA 07 thn 2014 lebih tinggi dari putusan Mahkamah Konstitusi  34/PUU-XI/2013  tanggal 06 Maret 2014.
Fakta hukum ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi para pemerhati hukum di Indonesia, dan juga tentunya menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi para pencari keadilan hukum, para aparat penegak hukum, dan juga tentunya bagi para advokat, pengacara yang sering berkecimpung dalam pembelaan hak asasi manusia. (#bravo lemsiham btm 2015)