Dari
berbagai versi, versi ini yang menurutku paling rasional didukung pidato
kenegaraan Soekarno dan fakta-fakta sejarah lainnya.
Peristiwa
G30S berawal dari informasi yg dibawa oleh Subandrio dari Mesir pada tgl 15 Mei
1965 tentang adanya Dewan Jenderal (Dokumen Gilchrist).
Sukarno
menanggapi isu ini dgn serius. Pada tanggal 25 Mei 1965, Sukarno memanggil para
Menteri Panglima Angkatan untuk meminta kejelasan tentang adanya Dewan
Jenderal.
Pada
kesempatan tersebut, Letjen Ahmad Yani selaku Menpangad dgn tegas menyatakan
bahwa Dewan Jenderal tidak ada, yang ada adalah Dewan Kepangkatan Tinggi
(Wanjakti) yg bertugas memberi masukan atau pendapat kepada Menpangad tentang
kepangkatan dan jabatan Perwira Tinggi di tubuh angkatan darat.
Bahkan
Jenderal Nasution juga memastikan bila Dewan Jenderal memang tidak ada.
Merasa
kurang puas dgn penjelasan Jenderal Ahmad Yani dan Jenderal Nasution,
Sukarnopun berusaha mencari kejelasan lebih lanjut. Sukarno memberi perintah pd
Brigjen Sjafiudin (Pangdam Udayana) untuk mencari tahu nama2 yg dimaksud, lalu
didapat 9 nama.
Inilah
ke 9 nama yg disodorkan Brigjen Sjafiudin :
1
Jenderal AH Nasution (Menko Pangap/KASAB),
2 Letjen Ahmad Yani (Menpangad),
3 Mayjen R Soeprapto (Deputy II Menpangad)
4 Mayjen MT Haryono (Deputy III Menpangad)
5 Mayjen S Parman (Asisten I Menpangad bidang Intelejen)
6 Mayjen Djamin Ginting (Asisten II Menpangad bidang Operasi)
7 Brigjen DI Panjaitan (Asisten IV Menpangad bidang Logistik)
8 Brigjen Sutoyo (Inspektur Kehakiman AD)
9 Brigjen Sukendro (Asintel Mayjen S Parman).
2 Letjen Ahmad Yani (Menpangad),
3 Mayjen R Soeprapto (Deputy II Menpangad)
4 Mayjen MT Haryono (Deputy III Menpangad)
5 Mayjen S Parman (Asisten I Menpangad bidang Intelejen)
6 Mayjen Djamin Ginting (Asisten II Menpangad bidang Operasi)
7 Brigjen DI Panjaitan (Asisten IV Menpangad bidang Logistik)
8 Brigjen Sutoyo (Inspektur Kehakiman AD)
9 Brigjen Sukendro (Asintel Mayjen S Parman).
Akhirnya
Sukarno memberi sinyal untuk menindak mereka tapi bulan berganti bulan tak ada
perkembangan.
Lalu
atas bisikan PKI, Sukarno menemukan ide yg dianggapnya cemerlang (menurut
pikirannya berdasarkan pengalaman Lenin, Stalin, Mao Tse). Berdasarkan
rekomendasi dari Brigjen Sabur, Sukarno memberi perintah kepada Letkol Untung
untuk menindak para Jenderal.
Ditentukanlah
tanggalnya dan dipilihlah bulan Oktober dgn alasan Sukarno ingin mensejajarkan
diri dgn Sovyet & China yg sdh lebih dahulu terkenal dgn Revolusi
Oktobernya.
Dalam beberapa kesempatan Sukarno selalu menyebut peristiwa G30S dgn istilah
“GESTOK”.
Sukarno menolak penggunaan istilah Gestapu atau G30S.
Sesuai
perencanaan, Operasi penindakan para jenderal mulai dijalankan. Supply
persenjataan diperoleh dari Marsekal Oemar Dhani yg merupakan Menpangau waktu
itu. (TNI AU baru melaporkan kehilangan senjata setelah senjata2 tsb disita
lewat pertempuran di wilayah Lubang Buaya).
Berdasarkan
kesaksian keluarga para jenderal yg menjadi korban, ternyata pada malam
kejadian telepon selalu bordering tiap jam hanyak untuk menanyakan keberadaan
para jenderal, apakah ada di rumah atau tidak.
Pada
dini hari pukul 4.00 Wib operasi penindakan para jenderal pun dijalankan. Satu
persatu para jenderal diculik dari rumah mereka masing-masing.
Namun
operasi penindakan para jenderal ini Gagal Total karena ternyata Nasution berhasil
meloloskan diri, walau tahu kalo operasi penindakan para jenderal Gagal, namun
operasi tetap dijalankan.
Pada
pagi harinya Letkol Untung mengumumkan berita sebaliknya melalui RRI. Letkol
Untung memberitakan kesuksesan Dewan Revolusi menghabisi para jenderal yg
dianggap menghalangi Revolusi yg dicanangkan Sukarno. Pengumunan ini ternyata
mendapat sambutan diberbagai daerah, seperti Jogjakarta, dimana Kolonel Katamso
dan Letkol Sugijono diculik dan dibunuh. Bahkan dibeberapa daerah, para anggota
PKI & simpatisan PKI mulai menebar ancaman yg membuat rakyat menjadi kian
ketakutan.
Dalam
persembunyiannya, jenderal Nasution mengakui kalo dirina merasa gamang dlm
menentukan siapa kawan dan siapa lawan yg sebenarna. Akhirnya Nasution memilih
KOSTRAD sbg tempat berlindung walau diketahui sebetulnya sbg Benteng Pengendali
Keamanan Ibukota adalah KODAM JAYA.
Menjelang
sore sekitar pukul 4 lewat akhirnya jenderal Nasution masuk ke Markas
KOSTRAD.
Jenderal Nasutionpun memberi perintah kepada Mayjen Suharto untuk mengambil
alih komando TNI AD. Menindak lanjuti perintah jenderal Nasution, Mayjen
Suharto mengirim telegram keseluruh Kodam memberitahukan tentang selamatnya
jenderal Nasution dan memerintahkan untuk bersiaga penuh.
Mayjen
Suharto pun memberi perintah kepada Kolonel Sarwo Edhie untuk segera merebut
RRI & menguasai Halim (daerah Lubang Buaya yg merupakan tempat pelatihan
militer para Pemuda Rakyat).
Sejarah
mencatat, dari 3 Menteri Panglima yg tersisa hanya Menpangal Laksamana RE
Martadinata yg menjenguk Jenderal Nasution saat berada di Kostrad pasca
kejadian.
Usai
mendengar kesaksian Jenderal Nasuton, Laksamana RE Martadinata menyatakan sikap
TNI AL yg mendukung TNI AD untuk melawan PKI. Namun sayang, sikap ini justru
membuat karier militernya tamat, karena pada tgl 21 Februari 1966, Laksamana RE
Martadinata dicopot jabatannya sbg Menpangal.
Ternyata
selamatnya Jenderal Nasution waktu itu, menjadi petaka bagi Sukarno dan PKI,
apalagi saat ditangkap, Letkol Untung memberi daftar 60 nama prajurit
Cakrabirawa yg terlibat langsung.
Harap
diingat, pada malam peristiwa Letkol Untung memberi memo kepada Sukarno saat
seminar para Arsitek. Setelah membaca memo tsb Sukarno menyelipkan ucapan yg
dikutip dari kisah Ramayana/Mahabrata tentang membunuh saudara kandung demi
pencapaian tujuan.
Perlu
diketahui, sehari sebelum peristiwa terjadi ternyata Sukarno sdh menjanjikan
posisi Menpangad kepada Mayjen Mursjid yg merupakan orang nomor 2 di
Kemenpangad waktu itu. Mayjen Mursjid adalah Deputy I Menpangad yg tdk turut
menjadi target saat itu padahal Deputy II & Deputy III turut menjadi korban
saat itu.
Para
Antek2 PKI yg berkedok Sukarnois mencoba memelintir peristiwa G30S dgn
mengabaikan “Selamatnya” Jenderal Nasution.
Padahal beliaulah yg membuat semua
skenario & rencana Sukarno menjadi berantakan.
Lalu
tindakan Sukarno yg justru mencopot jabatan Jenderal Nasution dari jabatannya
sbg Menko Pangap/Kasab, semakin memperkuat kecurigaan akan keterlibatan
Sukarno.
Tindakan
pencopotan ini seolah menunjukan kalo Sukarno Gak Suka kalo Nasution berhasil
selamat.
Pasca
peristiwa pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya, situasi Eskalasi politik di
Indonesia semakin memanas. Rakyat mulai turun kejalan menuntut pembubaran PKI
tapi Sukarno seolah tak bergeming membela keberadaan PKI. Bahkan saat berpidato
didepan Front Nasional tgl 13 Februari 1966, di daerah Senayan, Sukarno kembali
dgn lantang memuji PKI dgn mengatakan, “Di Indonesia ini tidak ada partai yang
pengorbanannya terhadap Nusa dan Bangsa sebesar PKI”.
Mendengar
pidato Sukarno yang keukeuh membela PKI, tuntutan mahasiswa dan rakyat semakin
menguat untuk melengserkan Sukarno. Menghadapi tuntutan mahasiswa dan rakyat
yang semakin meluas, akhirnya Sukarno mengeluarkan SP 11 Maret ditahun 1966,
yang isinya memerintahkan Letjen Suharto sebagai Menteri Panglima Angkatan
Darat untuk segera mengendalikan situasi dan keadaan dengan mengambil tindakan
yang dianggap perlu demi menjaga keamanan dan kestabilan pemerintahan. Namun
Sukarno cukup cerdik dengan menyelipkan perintah untuk menjaga dan menjamin
keselamatan pribadinya. Sukarno menyelipkan perintah menjaga dan menjamin
keselamatan pribadinya dengan menyematkan berbagai gelar yang disandangnya.
Berdasarkan
SP 11 Maret, Letjen Suharto mulai mengadakan pembersihan atas unsur-unsur PKI
di pemerintahan termasuk menangkapi beberapa menteri dan pejabat yang terlibat
PKI. Tindakan Letjen Suharto mendapat kritikan dari Sukarno yang ditanggapi
Suharto dengan memasang dirinya sebagai tameng untuk menjaga nama baik Sukarno.
Pasca
terbitnya SP 11 Maret, situasi keamanan Negara mulai kondusif dan terkendali.
Gejolak demontrasi anti pemerintah mulai mereda.
Namun situasi kembali memanas saat
Sukarno mengawini gadis belia, Heldy Jaffar yang berusia 18 tahun dibulan Mei
1966. Perkawinan ini menjadi puncak kemarahan rakyat dan menjadi bukti “Ketidak
Pedulian” Sukarno terhadap kondisi dan situasi Negara. Rakyat melihat ternyata
Sukarno lebih mementingkan kepentingan pribadinya dibanding kepentingan Bangsa
dan Negara.
Akhirnya
tuntutan rakyat dijawab oleh MPRS yang diketuai oleh Jenderal AH
Nasution.
Pada bulan Juni 1966, Sukarnopun diseret ke SU MPRS untuk dimintai pertanggung
jawaban. Inilah awal kejatuhan Sukarno dimana 2 nota pembelaannya yang diberi
judul Nawaksara I dan II ditolak oleh MPRS. Mandat Sukarno sebagai Presidenpun
dicabut MPRS pada bulan Maret 1967. Selanjutnya MPRS memilih dan mengangkat
Letjen Suharto sebagai Plt Presiden.
Terlukis
kesan ketidak relaan di wajah Sukarno atas pencopotan dirinya dari kedudukan
Presiden. Berdasarkan Tap MPRS no 33 tahun 1967, MPRS memerintahkan kepada Plt
Presiden, Jenderal Suharto untuk melakukan proses hukum kepada Sukarno sesuai
ketentuan hukum yg berlaku, namun Suharto hanya mengenakan status Tahanan Rumah
tanpa pernah berusaha mengajukan Sukarno untuk diadili.
"Mikhul
Dhuwur Mendhem Jero" menjadi alasan Suharto agar Bangsa Indonesia tdk
memperlakukan Sukarno seperti pesakitan/pecundang. Sikap Suharto ini dipertegas
dgn pidatonya di depan Sidang MPRS pd tahun 1968, agar kita lebih baik
mencurahkan tenaga & pikiran dlm menghadapi masa depan bangsa Indonesia
dibanding mempermasalahkan masa yg lalu.
Pada
kenyataannya, Suharto memang tidak pernah mengajukan Sukarno kedepan sidang
pengadilan manapun. Bahkan sebagai bentuk penghormatan, pada tahun 1986 Suharto
memberikan gelar Pahlawan Proklamasi kepada Sukarno & Hatta. Mendirikan
Tugu Proklamasi untuk menghormatinya serta menyematkan nama Sukarno-Hatta pada
nama Bandara Internasional Indonesia.
Dan
terakhir, Suharto menyematkan foto Sukarno-Hatta pada lembaran uang kertas
Rp.100.000,-
NB :
2 Nama dari 9 nama jenderal yg menjadi target operasi berhasil selamat karena
pada malam kejadian tidak berada ditempat/dirumah. Mayjen Djamin Ginting berada
di Medan saat peristiwa terjadi. Brigjen Sukendro berada di luar Jakarta saat
peristiwa terjadi. Pasca peristiwa, Mayjen Djamin Ginting turut berlindung di
Markas Kostrad bersama Jenderal AH Nasution.
Kronologis
Kejadian G30S diatas ditulis oleh beberapa mantan aktivis 66. Bagi Buzzer
JASMEV/PROJO & Orang2 yg Sok Ngaku Sukarnois, saya persilahkan untuk
membantah Kronologis diatas dengan cara menulis Kronologis Kejadian sebagai
pembandingnya.
Saya persilahkan kalian untuk memasukan semua tuduhan kalian kepada pak Harto,
tapi saya ingatkan untuk tidak melupakan situasi selamatnya jenderal Nasution
yg berlindung ke Markas Kostrad waktu itu.
Bila
kalian masih tidak mampu untuk menuliskannya maka berarti kronologis yg ditulis
para mantan aktivis 66 diatas adalah BENAR & TIDAK TERBANTAHKAN.