|
Gedung Mahkamah Agung RI |
Merdeka.com -Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Menkum HAM) Yasonna Laoly menyatakan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor
7 Tahun 2014 tentang Pembatasan PK hanya bisa diajukan satu kali tidak bisa
dijadikan dasar hukum untuk menangani perkara. Hal ini karena SEMA (Surat
Edaran Mahkamah Agung) hanya imbauan yang berlaku bagi internal MA.Yasonna pun menyarankan agar MA mengganti SEMA dengan
Peraturan MA (Perma) lantaran bisa berlaku di semua lembaga penegak hukum.
Tetapi, menurut dia, MA menyatakan tidak bisa menerbitkan Perma lantaran
kewenangannya untuk membatasi PK hanya satu kali sudah diwadahi oleh
Undang-undang (UU) MA dan Kekuasaan Kehakiman. "Soal Perma, MA mengatakan lebih bagus janganlah, karena kami (MA) sudah
punya peraturan sendiri. Dalam perundang-undangan Kekuasaan Kehakiman, PK itu
kan satu kali. Di UU MA juga satu kali," ujar Yasonna di Kemenkum HAM,
Jakarta, Jumat (9/1). Padahal, terang Yasonna, terdapat kewajiban bagi MA untuk
mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait PK yang bisa diajukan
berkali-kali. Untuk itu, dia mengatakan pemerintah akan membuat PP agar
pengajuan PK harus memenuhi syarat secara ketat. Pada kesempatan yang sama, Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie
membenarkan SEMA tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Sehingga, menurut dia,
perlu ada aturan yang bisa dipakai oleh semua lembaga penegak hukum. "SEMA memang bukan peraturan. Hanya petunjuk bagi hakim. Wajar hakim harus
memperhatikan itu. Semua penegak hukum harus tunduk pada PP," terang dia. Lebih lanjut, Jimly menerangkan penerbitan SEMA merupakan
bentuk pelanggaran MA atas perintah UU dan bukan penentangan terhadap putusan
MK. Sehingga, MA sudah seharusnya menjalankan UU meski sudah dibatalkan oleh MK.