#Penulis : Petra Sembilan#
Ilustrasi - membuat kapal (kompas.com)
Masa
Kecil saya habiskan di tanah kelahiran di sebuah pulau di gugusan
kepulauan Sangihe Talaud di Sulawesi Utara berbatasan dengan negara
tetangga Filipina. Penduduk kepulauan tersebut adalah Suku Bangsa
Sangihe dan Talaud, dua suku serumpun dengan budaya dan bahasa yang
mirip, dimana budaya bahari sangat kental mewarnai kehidupan keseharian
warga.
Sejak zaman dahulu kala suku Sangihe adalah pelaut yang
tangguh, bahkan sampai sekarang pun banyak warganya yang menjadi pelaut.
Menemukan warga asal suku Sangihe sangat mudah, umumnya jika anda naik
ke kapal niaga yang wilayah operasinya seluruh Indonesia, maka
dipastikan anda akan ketemu orang asal suku Sangihe. Secara ratio,
perbandingan jumlah pekerja pelaut denganjumlah etnis ratio ini sangat
tinggi.
Mengapa demikian? Karena sejak lahir anak-anak etnis
Sangihe telah biasa dengan kehidupan bahari, belajar menggunakan perahu
kecil, menggunakan perahu bermesin, dan kapal ukuran kecil dan berani
mengarungi laut antar pulau dan mengetahui dengan baik dan cermat siklus
cuaca, mata angin, dan tanda-tanda alam laut, mengetahui potensi hasil
laut, menangkap dan mengolahnya.
Tetapi satu hal yang
benar-benar spesial dari suku Sangihe adalah mereka memiliki pengetahuan
dan skill teknik yang tinggi dalam hal membuat perahu dan kapal. Sampai
dengan saat ini, perahu-perahu yang digunakan warga adalah buatan
tukang-tukang perahu yang tidak pernah dididik secara khusus, melainkan
turun temurun dan secara alami memiliki pengetahuan dan keahlian membuat
perahu dan kapal.
Saya masih ingat masa kecil dan remaja dulu,
sering bermain ke tempat tukang-tukang membuat perahu atau kapal
berukuran kecil. Kepala tukangnya adalah ayah dari seorang kawan, dan
bapak itu hanyalah berijazah SMP. Menurut penuturan orang tua, seorang
bisa membuat perahu atau kapal bukan karena pendidikan, bukan juga
karena keturunan, melainkan bakat. Jika seorang laki-laki memiliki bakat
itu, maka ia akan tergerak hatinya pertama-tama membuat perahu
berukuran kecil. Ia akan berhasil, dan perahu buatannya akan semakin
besar, dan pada akhirnya ia akan menjadi tukang membuat perahu yang
hebat. Tidak ada hubungannya dengan ijazah atau sekolah teknik.
Lalu
bagaimana mereka dapat mendesain model dan semua teknik membuat perahu
yang baik? Dalam hal desain, mereka cukup melihat model perahu atau
kapal yang sudah ada, dan mereka menirunya. Untuk teknik pembuatan dan
pemilihan bahan kayu dan rancang bangunnya, biasanya berdasarkan diskusi
antar sesama tukang membuat perahu.
Saya masih ingat setiap kali
naik kapal baru yang melayani pelayaran antar pulau, kapal yang bisa
memuat jumlah penumpang sampai 300-500 orang beserta palka muatan
komoditi hasil bumi, maka dari percakapan penumpang pasti ada terucap,
kapal ini dibuat (bahasa Sangihe-nya "di langing") di desa ini, dan
kapal yang itu dibuat di desa ini. Saya juga ingat jika sebuah kapal
telah selesai dibuat, maka pemilik akan mengundang warga masyarakat
untuk beribadah dan berdoa untuk peluncuran perdana kapal tersebut, dan
sekaligus warga itu akan menarik kapal tersebut dari tempatnya dibuat di
darat, ditarik ke laut.
Kapal Sangihe tidak dibuat di sebuah
galangan kapal khusus, tetapi dibuat di suatu struktur kayu yang
dipasang di pantai landai berpasir putih, dengan alasan memudahkan
menarik kapal menuju laut. Biasanya peluncuran kapal baru dilakukan pada
saat bulan purnama atau bulan baru/bulan mati, karena pada 2 momen
itulah saat pasang mencapai puncaknya, yaitu batas air laut paling jauh
masuk ke daratan.
Zaman telah berubah, teknologi berkembang dan
tuntutan ekonomi meningkat volume lalu lintas barang meningkat, sehingga
kapal dengan struktur kayu tidak cukup kuat dan efisien lagi jika
dibuat dengan ukuran besar. Maka kapal berukuran lebih besar lagi sudah
beralih ke teknologi pembuatan kapal baja, yang dibuat dengan teknologi
perkapalan modern.
Namun tradisi pembuat kapal tradisional
Sangihe tetap hidup, mereka membuat kapal-kapal nelayan berukuran lebih
kecil, dan perahu nelayan yang digunakan untuk menangkap ikan. Sempat
terpikir untuk meneruskan ilmu pengetahuan membuat kapal dengan cara
membangun sekolah pertukangan di Sangihe Talaud. Namun rang Sangihe
percaya bahwa telenta atau bakat tersebut muncul dalam diri orang-orang
tertentu, yang tanpa perlu pendidikan atau ilmu formil, orang yang entah
bagaimana telah memiliki pengetahuan itu dalam diri mereka. Nilai
inilah yang dipercaya warga masyarakat Sangihe. Dan kepercayaan ini
bukan tidak ada dasarnya, karena sudah sejak zaman dahulu kala orang
Sangihe sanggup membuat perahu dan kapal oleh kepala tukang dan
tukang-tukang yang berpendidikan rendah.
Meskipun boleh dikata
kapal Sangihe dibuat "home made" namun belum pernah ada data kapal
tersebut karam atau terjadi kecelakaan akibat kegagalan struktur kapal,
misalnya lambung kapal sobek, rangka kapal patah karena menabrak batang
kayu hanyut atau menabrak karang, atau lunas utama kapal patah ketika
mengarungi badai laut. Hal seperti itu belum pernah terjadi. Kecelakaan
terjadi akibat cuaca buruk dan kapalnya karam, atau kebakaran mesin.
Data
teknis seperti inilah yang di sepanjang masa dan sejarah bahari
Sangihe, meyakinkan masyarakat bahwa hasil karya tukang-tukang pembuat
kapal Sangihe sangat diandalkan, sehingga tidak ada satupun masyarakat
Sangihe yang pernah ragu-ragu dengan keandalan kapal buatan lokal itu.
Sampai
saat ini saya masih terus memikirkan warisan budaya teknologi bahari
dari suku Sangihe tersebut. Suatu teknologi yang dikuasai dan diterapkan
dengan yakin, digunakan seluruh masyarakat, dan terbukti teknologi
berguna, namun yang adanya bukan dari hasil pendidikan formal, melainkan
hadiah dari kehidupan bagi orang-orang tertentu, para tukang pembuat
kapal Sangihe.
Suku bangsa Sangihe yakin bahwa talenta yang demikian merupakan kasih karunia dari Tuhan Maha Kuasa.